Pendahuluan
Globalisasi Neoliberal telah membawa peningkatan tenaga kerja dalam lapangan kerja global. Serangkaian pembicaraan di dalam GATT telah mendorong pengurangan secara besar-besaran hambatan tarif dan WTO memaksakan penghilangan hambatan-hambatan non-tarif. Di tambah lagi dengan misi WTO untuk meliberalisasi produksi jasa dan pertanian. Hal ini juga berimbas kepada kemudahan arus tenaga kerja antar negara terutama ditunjang oleh teknologi informasi dan transportasi yang semakin mendekatkan jarak antar negara-negara dan institusi-institusi ekonomi internasional.
Institusi ekonomi internasional yang kemudian tumbuh mendukung liberalisasi ekonomi dan kapitalisme dunia melalui gelombang pasar bebas yang semakin meningkatkan ketergantungan dan keterhubungan antara negara telah mendorong munculnya integrasi-integrasi ekonomi regional dan global, sehingga perkembangan ekonomi makro bahkan mikro suatu negara akan sangat rentan dan sensitif terhadap segala perubahan yang terjadi dalam lingkup global maupun regional, bahkan perekonomian global terus ditentukan oleh sebagian kecil negara maju (industrial) sedangkan sebagian besar lainnya negara berkembang dan terbelakang menjadi kelompok negara yang ditentukan.
Akan tetapi globalisasi tidak sepenuhnya membuat borderless world atau end of the nation state, karena banyak hal yang tetap di atur oleh negara, anggaran pendidikan, permasalahan pengangguran, tunjangan sosial dan sebagainya . Dengan kata lain dalam semangat liberal, banyak negara yang mendorong liberalisme tidak sepenuhnya melepaskan kepada kehendak pasar atau kebebasan individual, beberapa negara cenderung melakukan upaya perlindungan terhadap kesejahteraan warganya terutama berkaitan dengan permasalahan jaminan lapangan kerja bagi penduduknya.
Pasar bebas juga mendorong mengalirnya arus investasi dan produksi kenegara-negara yang sedang berkembang akibat kejenuhan yang terjadi dipasar-pasar negara maju. Hal ini mendorong munculnya global proletarianization dari jutaan bahkan milyaran pekerja yang ada dibelahan dunia selatan. Global proletarianization dalam pandangan Robert O’Brien dipandang sebagai proses dimana para pekerja atau buruh tani terlibat dalam aktivitas ekonomi lokal atau nasional yang terkait dengan proses produksi yang bersifat internasional . Persentase jumlah tenaga kerja diseluruh dunia yang terlibat seperti itu mungkin relatif kecil akan tetapi kecenderungannya semakin meningkat dengan cepat .
Dalam pandangan liberal keterlibatan tenaga kerja lokal atau nasional dalam industri dan perdagangan internasional, tidak terlepas dari asumsi bahwa sebuah negara dengan tingkat upah tenaga kerja yang tinggi akan melakukan hubungan dengan negara yang memiliki jumlah surplus tenaga kerja yang besar, diharapkan hal ini akan mendorong penurunan upah tenaga kerja di sektor perdagangan. Akan tetapi asumsi ini seringkali di gunakan oleh negara industri sebagai dasar untuk merekrut tenaga kerja asing dengan harapan upah yang lebih rendah.
Begitupun sebaliknya keterbatasan keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang, keterbatasan lapangan kerja serta imbalan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan upah di dalam negeri menjadi alasan kumulatif bagi peningkatan jumlah tenaga kerja migran dari negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia untuk bekerja di negara-negara maju. Bagaimanakah globalisasi memberikan efeknya pada tenaga kerja migran Indonesia, dan bagaimana pasar kerja Indonesia seiring dengan semakin kuatnya keterhubungan antara Indonesia dengan dunia luar?
Globalisasi dan Pasar Tenaga Kerja
Industrialisasi Asia telah mendorong perluasan jumlah tenaga kerja dalam kompetisi global, kebutuhan akan tenaga kerja sektor teknis untuk memenuhi kebutuhann diindustri-industri baru telah mendorong mengalirnya tenaga kerja-tenaga kerja dari negara-negara sedang berkembang ke negara-negara industri lanjut dan industrial baru (NICs). Seperti halnya prinsip ekonomi tentang suply-demand, keberadaan tenaga kerja migran ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja yang dapat memenuhi kebutuhan efisiensi produksi sehingga dapat menekan harga pasar yang terjangkau. Dimana keterbatasan tenaga kerja serta tingginya upah yang harus dibayarkan pada tenaga kerja lokal telah mendorong perusahaan untuk mendatangkan tenaga kerja asing dari negara-negara yang miskin dan sedang berkembang, dimana dengan tingkat keahlian dan pendidikan yang terbatas mereka dapat dibayar dibawah rata-rata tenaga kerja dari penduduk setempat.
Sementara itu di kebanyakan negara berkembang terutama setelah krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997-1998 cenderung memunculkan tingkat pembengkakan pengangguran, sehingga terjadi surplus tenaga kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan lapangan kerja dan ekonomi. Strategi yang digunakan pemerintah Indonesia untuk mendorong pendapatan devisa dan mengurangi surplus tenaga kerja adalah dengan melakukan akselerasi migrasi tenaga kerja baik internasional maupun nasional.
Dalam lingkup internal migrasi ini dilakukan dari daerah perkotaan (urban) ke daerah pedesaan (rural) terutama pada sektor agrikultur. Sedangkan akselerasi migrasi internasional baik secara resmi maupun tidak resmi terutama kewilayah-wilayah seperti Malaysia bagi tenaga kerja pria, negara Timur Tengah bagi para perempuan. Proporsi yang cukup signifikan dari para pekerja Indonesia bekerja di laur negeri. Sementara hingga saat ini surplus tenaga kerja Indonesia sampai 2 juta orang dengan 70% diantaranya adalah perempuan .
Karakteristik masyarakat yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang cenderung menempatkan tenaga migran Indonesia pada level yang (paling) rendah dalam struktur tenaga kerja dinegara maju. Mayoritas pekerja migran Indonesia menempati posisi terbesar pada sektor informal (Penata Laksana Rumah Tangga) dibandingkan sektor formal yang membutuhkan tingkat keahlian dan pendidikan yang lebih tinggi. Pada sektor formal tingkat kebutuhan dari tenaga masih didominasi pada sektor perkebunan, konstruksi dan operator industri.
Dengan kata lain beberapa sektor lain yang membutuhkan tingkat keahlian serta tingkat pendidikan yang lebih tinggi masih diisi oleh tenaga-tenaga setempat yang berimplikasi pula pada tingkat upah yang lebih tinggi. Konsep ini justru berbanding terbalik dengan keberadaan tenaga kerja migran asing di Indonesia, dimana sebagian besar pekerja Asing di Indonesia menduduki posisi Pimpinan dan Profesional dengan beberapa pada tingkat jabatan tehnisi.
Pola ketimpangan ini mungkin juga beralasan, seiring dengan kekawatiran liberalisme berkaitan dengan meningkatnya jumlah kompetisi tenaga kerja dinegara-negara maju yang harus bersaing dengan tenaga-tenaga murah dari para pekerja imigran. Mereka mencoba untuk mempertahankan ‘competitive advantage’ nya dengan hanya menenmpatkan keberadaan tenaga kerja migran pada level yang cukup rendah atau dengan kata lain sebagai pekerja kasar untuk posisi yang tidak terlalu diminati oleh penduduk setempat. Hal ini tampak pada kebutuhan tenaga kerja untuk sektor perkebunan dan konstruksi atau yang tampak jelas pada sektor informal seperti posisi Penata Laksana Rumah Tangga yang dapat dianggap sebagai pekerjaan kasar, sehingga lebih banyak diisi oleh para pekerja migran dari negara-negara miskin atau sedang berkembang seperti Indonesia dan Filipina.
Oleh sebab itu keberadaan kelompok masyarakat yang menjadi pekerja migran dalam sektor informal memberikan kontribusi devisa negara jauh lebih besar dari kontribusi pekerja migran sektor formal (lihat tabel 3). Keberadaan tenaga kerja migran informal ini tampak seperti keunggulan komparatif dari negara-negara berkembang untuk mencari jalan singkat mendapatkan devisa pembangunan melalui eksploitasi tenaga kerja kasar, melalui kolaborasi pemerintah negara berkembang dengan majikan di negara maju.
Pandangan bahwa globalisasi akan memberikan ancaman permasalahan upah di beberapa sektor ekonomi negara barat, merupakan salah satu bentuk dari pemikiran capitalisme yang enggan untuk mengubah struktur hirarki antara negara maju dengan negara berkembang. Sehingga pemilihan sektor lapangan kerja menentukan kebijakan tenaga kerja dari beberapa negara maju. Kasus pembatasan imigran yang akan memasuki wilayah negara-negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat, terutama ditujukan pada imigran yang datang dari Asia dan Timur Tengah merupakan bentuk nyata dari proteksi tenaga kerja dinegara-negara maju. Jelas hal ini sangat berbeda dengan semangat perdagangan bebas.
Kasus proteksi tenaga kerja ini juga terjadi dinegara yang pernah digolongkan sebagai New Industrial Countries seperti halnya Singapura dan Malaysia. Ketika krisis ekonomi menyerang Asia maka terjadi gelombang pemulangan tenaga kerja dari kedua negara tersebut . Pengetatan tenaga kerja migran yang terjadi disebabkan upaya perlindungan tenaga kerja lokal yang akan kalah bersaing dengan tenaga-tenaga murah para migran Indonesia.
Penutup
Hubungan antara globalisasi dan tenaga kerja migran lebih berkaitan dengan politik produktivitas. Politik produktifitas ini melibatkan konflik kelas dengan upaya menjamin keuntungan pertumbuhan dan produktifitas diseluruh sektor ekonomi . Politik produktifitas ini merupakan upaya untuk mempertahankan masyarakat kapitalisme negara-negara maju, yang dalam pandangan J.A. Hobson memiliki permasalahan tenaga kerja dengan upah yang rendah serta underconsumption, sedangkan para pemilik kapital mendapatkan surplus keuntungan yang sangat cepat dengan melakukan pembayaran upah dengan nilai yang rendah.
Keterbukaan dalam pasar bebas seiring dengan globalisasi ini cenderung telah meningkatkan jumlah tenaga kerja migran Indonesia ke negara-negara yang lebih kaya. Akan tetapi peningkatan tenaga kerja Indonesia ini tidak disertai dengan upaya yang lebih serius dari pemerintah untuk meningkatkan skill dan pengetahuan para pekerja. Lemahnya posisi tawar Indonesia dalam lapangan kerja global, telah mendorong Indonesia menjadi pengekspor tenaga kerja informal atau unskill labor lainnya.
Sehingga sebagai mana umumnya tenaga kerja migran dari negara-negara berkembang lainnya, peningkatan jumlah tenaga kerja migran Indonesia lebih dikarenakan upah yang rendah untuk menggantikan pekerjaan yang telah ditinggalkan para pekerja lokal. Secara singkat peningkatan tenaga kerja migran Indonesia seiring dengan globalisasi dan pasar bebas lebih merupakan eksploitasi negara maju dan kaya untuk terus mengumpulkan kapitalnya dengan merekrut tenaga-tenaga kerja murah dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku
Cohn, Theodore H, 2003, Global Political Economy, 2nd Ed, Longman, New York
Jones, R.J. Barry, 1995, Globalisation and Interdependence in International Political Economy, Pinter Publishers, London&New York.
Legrain, Philipe, 2002, Open World: the Truth About Globalisation, Abacus, London.
Palan, Ronen (ed), 2000, Global Political Economy, Routledge, London.
Wilber, Charles K. and Kenneth P. Jameson, 1992, The Political Economy of Development and Underdevelopment, 5th ed. McGraw-Hill, New York
Artikel
Rizwanul Islam. Et.al, 1999, The Economic Crisis and Labour Market Challenges and Policies in Indonesia, a paper presented at the WB/ILO/JMOL/JIL Seminar on Economic Crisis, Employment and Labour Market in East and South-East Asia,
Tubagus Feridhanustyawan dan Arya Budhiastra Gaduh, 2000, “Indonesia’s Labor Market During the Crisis.” The Indonesian Quarterly, Vol. XXVIII, No. 3. Hlm. 313
Website
www.worldbank.org
www.ciaonet.org
www.depnakertran.or.id
03 July 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment