24 February 2007

PELANGGARAN HAM DALAM DOKTRIN SISHANKAMRATA

Keberadaan doktrin pertahanan Sishankamrata merupakan bagian dari Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1982, kemudian Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menyepakati untuk memasukkan doktrin ini dalam pasal 30 pada proses amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan demikian keberadaan doktrin pertahanan tersebut menjadi semakin tinggi dalam sistem sistem perundang-undangan di Indonesia.
Secara konstitusional jelaslah bahwa sistem pemerintahan yang akan dianut Indonesia adalah menghargai civilian supremacy dalam hubungan sipil-militer. Militer hanya memainkan peran profesional untuk menghadapi ancaman yang bersifat militer dan berasal dari luar. Keputusan mengenai penggunaan kekuatan militer berada di tangan kepemimpinan sipil. TNI bukan merupakan institusi politik, dan fungsi TNI pun dapat dibedakan secara tegas antara keadaan negara dalam perang atau damai, meskipun hal ini dapat pula menimbulkan persoalan apabila secara hitam putih diterapkan pada sebuah masyarakat yang menghadapi ancaman yang kompleks, baik eksternal maupun internal, sehingga pemaknaan objective civilian control adalah minimalisasi intervensi militer dalam politik dan sebaliknya juga minimalisasi intervensi politik ke dalam tubuh militer.

Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), menempatkan keberadaan masyarakat dalam konteks kesiapan menghadapi ancaman fisik dari luar Indonesia. Orientasi war readiness ini terasa kental sekali dalam Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), sebagai sebuah corak yang jelas dari pemikiran kaum realis. Hal ini merupakan hal yang bisa dipahami jika melihat pengalaman perang yang dialami Indonesia. Pengalaman perang ini dialami Indonesia mendorong aktor militer untuk menimbulkan suatu wacana melibatkan masyarakat sipil dalam menghadapi peperangan memperkuat posisi dan peran angkatan bersenjata.
Wacana ini berusaha untuk membentuk pemahaman bahwa TNI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat. Sejarah pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menunjukkan proses pembentukan unsur kemiliteran yang berangkat dari milisi sipil.

Wacana ini berpengaruh besar terhadap pembentukan strategi pertahanan negara, yaitu aktor militer selalu melibatkan partisipasi rakyat dalam perumusan strategi pertahanan negara. Ini terlihat jelas dari Pasal 4 Ayat 1, UU No 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa "Hakikat pertahanan keamanan negara adalah perlawanan rakyat semesta..." Operasionalisasi dari perlawanan rakyat semesta tersebut dilaksanakan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) (Pasal 4 Ayat 1 UU No 20/1982).
Doktrin Sishankamrata ini menempatkan rakyat sebagai "sumber kekuatan bangsa yang menjadi kekuatan dasar upaya pertahanan negara" (Pasal 2 UU No 20/1982). Upaya pertahanan ini memiliki komponen perlawanan rakyat semesta yang diwujudkan dengan "mempersenjatai rakyat secara psikis dengan ideologi Pancasila dan secara fisik dengan keterampilan bela negara yang diselenggarakan oleh pemerintah" (Pasal 9 UU No 20/1982).
Walaupun UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi keberadaan doktrin Sishankamrata tetap dipertahankan sebagai inti dari perlawanan yang melibatkan seluruh warga negara Indonesia (Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 tahun 2002) . Dan sifat keterlibatan warga negara dalam pertahanan negara adalah hak dan wajib untuk turut serta (pasal 9 ayat 1 UU No.3 tahun 2002).

Potensi kekerasan militer yang dapat muncul dari Doktrin Sishankamrata adalah pertama, pelibatan rakyat secara luas dalam komponen pertahanan keamanan mencabut imunitas yang dijamin oleh Geneva Conventions. Hague Conventions (1907) dan Geneva Conventions (1926) didesain untuk memasukkan unsur-unsur kemanusiaan dalam perilaku berperang. Di mana dalam dua konvensi tersebut diatur tentang prilaku berperang dalam konteks symmetrical warfare dalam hal ini berkaitan dengan kesamaan cara berperang dan aturan berperang. Selain itu kedua konvensi ini mengatur tentang pemilahan antara combatant (orang yang dapat terlibat atau dilibatkan dalam peperangan) dan non-combatant (mereka yang tidak terlibat atau dilibatkan dalam peperangan). Dengan demikian kedua konvensi ini memberikan imunitas kepada kelompok masyarakat (perempuan, anak-anak dan manula) untuk tidak terlibat atau menjadi korban dalam peperangan. Pencabutan imunitas ini akan membunuh lebih banyak masyarakat sipil (terutama anak-anak, perempuan, dan para manula) yang sebenarnya memiliki hak untuk tidak terlibat dalam pertempuran dan peperangan.

Pelibatan rakyat secara luas juga tidak secara transparan menerangkan bagaimana program pelatihan akan dilakukan. Masalah yang akan muncul adalah jika ada agresi terhadap Indonesia, maka negara agresor dapat menganggap rakyat Indonesia sebagai kekuatan tempur yang harus diperangi. Mobilisasi masyarakat ini akan menempatkan kelompok-kelompok marjinal seperti halnya perempuan dan anak-anak yang merupakan bagian dari kelompok non-combatant pada posisi yang tidak menguntungkan. Hal ini antara lain berkaitan kemampuan mereka dalam berperang minim, sehingga seringkali mereka lebih mudah menjadi korban dalam peperangan.

Kedua, Doktrin Sishankamrata cenderung mengabaikan syarat proporsionalitas. Salah satu bentuk kerugian perang yang jarang mendapat perhatian serius adalah "kerusakan" segi psikis masyarakat yang tidak siap menerima trauma-trauma yang timbul akibat perang. Kerugian perang di sisi mental ini memiliki beberapa gradasi mulai dari demoralisasi, kelelahan mental, timbulnya perasaan dendam yang mendalam, ketakutan pada pemerintah, konflik keluarga hingga kerusakan mental yang serius. Syarat proporsionalitas menuntut aktor militer untuk mempertimbangkan kemungkinan munculnya kerugian di atas mengingat situasi perang total (total war) yang terdapat dalam Doktrin Sishankamrata memungkinkan negara lawan untuk melancarkan psy-war (Propagandan dan agitasi) untuk meruntuhkan home-front.

Ketiga, Doktrin Sishankamrata juga memungkinkan TNI untuk “membengkokkan” konsep demokratis supremasi sipil menjadi supremasi rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa TNI tidak perlu selalu tunduk kepada keputusan eksekutif jika itu dirasa tidak sejalan dengan apa yang dianggap TNI sebagai suara rakyat.

Keempat, Doktrin Sishankamrata akan menimbulkan konflik horisontal antarkomponen masyarakat jika pertikaian yang terjadi bukan antara negara namun antara negara melawan suatu gerakan separatis atau konflik antara kelompok dalam masyarakat. Hal lain yang perlu diangkat adalah untuk kasus konflik internal pemisahan sipil-militer cenderung sulit dilakukan sehingga aktor militer cenderung untuk melakukan teror-teror sistematis untuk menciptakan trauma-trauma psikologis yang akan mematikan keinginan pihak lawan untuk bertempur .
Terakhir, Doktrin Sishankamrata membutuhkan dukungan penuh dan luas dari berbagai komponen masyarakat. Dukungan ini bisa didapat dengan membentuk perasaan identitas kolektif yang bersifat instan yang menempatkan emosi-emosi kaum chauvinis seperti patriotisme dan rasa bangga terhadap sejarah perjuangan bangsa yang mengarah kepada pembentukan rasa kebangsaan yang kuat. Dengan kata lain, aktor militer akan berusaha untuk "merekayasa" nasionalitas bangsanya melalui proses indoktrinasi yang sistematis. Indoktrinasi ini cenderung membunuh nilai-nilai yang dirasa tidak kondusif dengan kebutuhan pembentukan ideologi negara. Eliminasi nilai-nilai ini pada akhirnya menghilangkan kemampuan masyarakat lokal untuk mengembangkan alternatif-alternatif resolusi konflik .

Berdasarkan paparan di atas, keberadaan Sishankamrata sebagai sistem pertahanan negara, telah menempatkan posisi keamanan negara lebih tinggi dari keamanan individu warga negara. Melihat keamanan dalam konteks negara ini telah mendistorsi pengertian keamanan itu sendiri yang berarti membebaskan orang-orang baik sebagai individu maupun kelompok dari ancaman sosial, ekonomi, fisik, politik maupun hambatan-hambatan lain yang menghalanginya dari segala tindakan yang diinginkannnya “…freeing people, as individus and groups from the social, physical, economic, political and other constrains that stop them from carrying out what they would frely choose to do” .
Selain itu pendekatan militerisme dalam keamanan nasional telah mengaburkan keberadaan ancaman lain yang lebih besar terhadap individu-individu, seperti halnya kemiskinan, hutang luar negeri, pertumbuhan populasi penduduk yang pesat, lingkungan hidup dan keterbatasan sumberdaya, yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan dan keamanan manusia, yang sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan oleh peperangan.

Selain itu Doktrin Sishankamrata, telah mengarahkan pembentukan sipil yang militersitik dan menempatkan standar-standar militer untuk keikutsertaan masyarakat dalam upaya bela negara . Dalam masyarakat dan negara yang patriarki, institusi militer selalu diidentifikasikan dengan maskulinitas, di mana kemudian institusi militer dioperasikan melalui atribut-atribut maskulin . Sehingga ketika Doktrin Sishankamrata bergerak dalam kerangka militer maka standar-standar maskulinlah yang akan diterapkan termasuk kepada para perempuan yang mungkin dilibatkan secara paksa.

No comments: