Pendahuluan
Globalisasi Neoliberal telah membawa peningkatan tenaga kerja dalam lapangan kerja global. Serangkaian pembicaraan di dalam GATT telah mendorong pengurangan secara besar-besaran hambatan tarif dan WTO memaksakan penghilangan hambatan-hambatan non-tarif. Di tambah lagi dengan misi WTO untuk meliberalisasi produksi jasa dan pertanian. Hal ini juga berimbas kepada kemudahan arus tenaga kerja antar negara terutama ditunjang oleh teknologi informasi dan transportasi yang semakin mendekatkan jarak antar negara-negara dan institusi-institusi ekonomi internasional.
Institusi ekonomi internasional yang kemudian tumbuh mendukung liberalisasi ekonomi dan kapitalisme dunia melalui gelombang pasar bebas yang semakin meningkatkan ketergantungan dan keterhubungan antara negara telah mendorong munculnya integrasi-integrasi ekonomi regional dan global, sehingga perkembangan ekonomi makro bahkan mikro suatu negara akan sangat rentan dan sensitif terhadap segala perubahan yang terjadi dalam lingkup global maupun regional, bahkan perekonomian global terus ditentukan oleh sebagian kecil negara maju (industrial) sedangkan sebagian besar lainnya negara berkembang dan terbelakang menjadi kelompok negara yang ditentukan.
Akan tetapi globalisasi tidak sepenuhnya membuat borderless world atau end of the nation state, karena banyak hal yang tetap di atur oleh negara, anggaran pendidikan, permasalahan pengangguran, tunjangan sosial dan sebagainya . Dengan kata lain dalam semangat liberal, banyak negara yang mendorong liberalisme tidak sepenuhnya melepaskan kepada kehendak pasar atau kebebasan individual, beberapa negara cenderung melakukan upaya perlindungan terhadap kesejahteraan warganya terutama berkaitan dengan permasalahan jaminan lapangan kerja bagi penduduknya.
Pasar bebas juga mendorong mengalirnya arus investasi dan produksi kenegara-negara yang sedang berkembang akibat kejenuhan yang terjadi dipasar-pasar negara maju. Hal ini mendorong munculnya global proletarianization dari jutaan bahkan milyaran pekerja yang ada dibelahan dunia selatan. Global proletarianization dalam pandangan Robert O’Brien dipandang sebagai proses dimana para pekerja atau buruh tani terlibat dalam aktivitas ekonomi lokal atau nasional yang terkait dengan proses produksi yang bersifat internasional . Persentase jumlah tenaga kerja diseluruh dunia yang terlibat seperti itu mungkin relatif kecil akan tetapi kecenderungannya semakin meningkat dengan cepat .
Dalam pandangan liberal keterlibatan tenaga kerja lokal atau nasional dalam industri dan perdagangan internasional, tidak terlepas dari asumsi bahwa sebuah negara dengan tingkat upah tenaga kerja yang tinggi akan melakukan hubungan dengan negara yang memiliki jumlah surplus tenaga kerja yang besar, diharapkan hal ini akan mendorong penurunan upah tenaga kerja di sektor perdagangan. Akan tetapi asumsi ini seringkali di gunakan oleh negara industri sebagai dasar untuk merekrut tenaga kerja asing dengan harapan upah yang lebih rendah.
Begitupun sebaliknya keterbatasan keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang, keterbatasan lapangan kerja serta imbalan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan upah di dalam negeri menjadi alasan kumulatif bagi peningkatan jumlah tenaga kerja migran dari negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia untuk bekerja di negara-negara maju. Bagaimanakah globalisasi memberikan efeknya pada tenaga kerja migran Indonesia, dan bagaimana pasar kerja Indonesia seiring dengan semakin kuatnya keterhubungan antara Indonesia dengan dunia luar?
Globalisasi dan Pasar Tenaga Kerja
Industrialisasi Asia telah mendorong perluasan jumlah tenaga kerja dalam kompetisi global, kebutuhan akan tenaga kerja sektor teknis untuk memenuhi kebutuhann diindustri-industri baru telah mendorong mengalirnya tenaga kerja-tenaga kerja dari negara-negara sedang berkembang ke negara-negara industri lanjut dan industrial baru (NICs). Seperti halnya prinsip ekonomi tentang suply-demand, keberadaan tenaga kerja migran ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja yang dapat memenuhi kebutuhan efisiensi produksi sehingga dapat menekan harga pasar yang terjangkau. Dimana keterbatasan tenaga kerja serta tingginya upah yang harus dibayarkan pada tenaga kerja lokal telah mendorong perusahaan untuk mendatangkan tenaga kerja asing dari negara-negara yang miskin dan sedang berkembang, dimana dengan tingkat keahlian dan pendidikan yang terbatas mereka dapat dibayar dibawah rata-rata tenaga kerja dari penduduk setempat.
Sementara itu di kebanyakan negara berkembang terutama setelah krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997-1998 cenderung memunculkan tingkat pembengkakan pengangguran, sehingga terjadi surplus tenaga kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan lapangan kerja dan ekonomi. Strategi yang digunakan pemerintah Indonesia untuk mendorong pendapatan devisa dan mengurangi surplus tenaga kerja adalah dengan melakukan akselerasi migrasi tenaga kerja baik internasional maupun nasional.
Dalam lingkup internal migrasi ini dilakukan dari daerah perkotaan (urban) ke daerah pedesaan (rural) terutama pada sektor agrikultur. Sedangkan akselerasi migrasi internasional baik secara resmi maupun tidak resmi terutama kewilayah-wilayah seperti Malaysia bagi tenaga kerja pria, negara Timur Tengah bagi para perempuan. Proporsi yang cukup signifikan dari para pekerja Indonesia bekerja di laur negeri. Sementara hingga saat ini surplus tenaga kerja Indonesia sampai 2 juta orang dengan 70% diantaranya adalah perempuan .
Karakteristik masyarakat yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang cenderung menempatkan tenaga migran Indonesia pada level yang (paling) rendah dalam struktur tenaga kerja dinegara maju. Mayoritas pekerja migran Indonesia menempati posisi terbesar pada sektor informal (Penata Laksana Rumah Tangga) dibandingkan sektor formal yang membutuhkan tingkat keahlian dan pendidikan yang lebih tinggi. Pada sektor formal tingkat kebutuhan dari tenaga masih didominasi pada sektor perkebunan, konstruksi dan operator industri.
Dengan kata lain beberapa sektor lain yang membutuhkan tingkat keahlian serta tingkat pendidikan yang lebih tinggi masih diisi oleh tenaga-tenaga setempat yang berimplikasi pula pada tingkat upah yang lebih tinggi. Konsep ini justru berbanding terbalik dengan keberadaan tenaga kerja migran asing di Indonesia, dimana sebagian besar pekerja Asing di Indonesia menduduki posisi Pimpinan dan Profesional dengan beberapa pada tingkat jabatan tehnisi.
Pola ketimpangan ini mungkin juga beralasan, seiring dengan kekawatiran liberalisme berkaitan dengan meningkatnya jumlah kompetisi tenaga kerja dinegara-negara maju yang harus bersaing dengan tenaga-tenaga murah dari para pekerja imigran. Mereka mencoba untuk mempertahankan ‘competitive advantage’ nya dengan hanya menenmpatkan keberadaan tenaga kerja migran pada level yang cukup rendah atau dengan kata lain sebagai pekerja kasar untuk posisi yang tidak terlalu diminati oleh penduduk setempat. Hal ini tampak pada kebutuhan tenaga kerja untuk sektor perkebunan dan konstruksi atau yang tampak jelas pada sektor informal seperti posisi Penata Laksana Rumah Tangga yang dapat dianggap sebagai pekerjaan kasar, sehingga lebih banyak diisi oleh para pekerja migran dari negara-negara miskin atau sedang berkembang seperti Indonesia dan Filipina.
Oleh sebab itu keberadaan kelompok masyarakat yang menjadi pekerja migran dalam sektor informal memberikan kontribusi devisa negara jauh lebih besar dari kontribusi pekerja migran sektor formal (lihat tabel 3). Keberadaan tenaga kerja migran informal ini tampak seperti keunggulan komparatif dari negara-negara berkembang untuk mencari jalan singkat mendapatkan devisa pembangunan melalui eksploitasi tenaga kerja kasar, melalui kolaborasi pemerintah negara berkembang dengan majikan di negara maju.
Pandangan bahwa globalisasi akan memberikan ancaman permasalahan upah di beberapa sektor ekonomi negara barat, merupakan salah satu bentuk dari pemikiran capitalisme yang enggan untuk mengubah struktur hirarki antara negara maju dengan negara berkembang. Sehingga pemilihan sektor lapangan kerja menentukan kebijakan tenaga kerja dari beberapa negara maju. Kasus pembatasan imigran yang akan memasuki wilayah negara-negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat, terutama ditujukan pada imigran yang datang dari Asia dan Timur Tengah merupakan bentuk nyata dari proteksi tenaga kerja dinegara-negara maju. Jelas hal ini sangat berbeda dengan semangat perdagangan bebas.
Kasus proteksi tenaga kerja ini juga terjadi dinegara yang pernah digolongkan sebagai New Industrial Countries seperti halnya Singapura dan Malaysia. Ketika krisis ekonomi menyerang Asia maka terjadi gelombang pemulangan tenaga kerja dari kedua negara tersebut . Pengetatan tenaga kerja migran yang terjadi disebabkan upaya perlindungan tenaga kerja lokal yang akan kalah bersaing dengan tenaga-tenaga murah para migran Indonesia.
Penutup
Hubungan antara globalisasi dan tenaga kerja migran lebih berkaitan dengan politik produktivitas. Politik produktifitas ini melibatkan konflik kelas dengan upaya menjamin keuntungan pertumbuhan dan produktifitas diseluruh sektor ekonomi . Politik produktifitas ini merupakan upaya untuk mempertahankan masyarakat kapitalisme negara-negara maju, yang dalam pandangan J.A. Hobson memiliki permasalahan tenaga kerja dengan upah yang rendah serta underconsumption, sedangkan para pemilik kapital mendapatkan surplus keuntungan yang sangat cepat dengan melakukan pembayaran upah dengan nilai yang rendah.
Keterbukaan dalam pasar bebas seiring dengan globalisasi ini cenderung telah meningkatkan jumlah tenaga kerja migran Indonesia ke negara-negara yang lebih kaya. Akan tetapi peningkatan tenaga kerja Indonesia ini tidak disertai dengan upaya yang lebih serius dari pemerintah untuk meningkatkan skill dan pengetahuan para pekerja. Lemahnya posisi tawar Indonesia dalam lapangan kerja global, telah mendorong Indonesia menjadi pengekspor tenaga kerja informal atau unskill labor lainnya.
Sehingga sebagai mana umumnya tenaga kerja migran dari negara-negara berkembang lainnya, peningkatan jumlah tenaga kerja migran Indonesia lebih dikarenakan upah yang rendah untuk menggantikan pekerjaan yang telah ditinggalkan para pekerja lokal. Secara singkat peningkatan tenaga kerja migran Indonesia seiring dengan globalisasi dan pasar bebas lebih merupakan eksploitasi negara maju dan kaya untuk terus mengumpulkan kapitalnya dengan merekrut tenaga-tenaga kerja murah dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku
Cohn, Theodore H, 2003, Global Political Economy, 2nd Ed, Longman, New York
Jones, R.J. Barry, 1995, Globalisation and Interdependence in International Political Economy, Pinter Publishers, London&New York.
Legrain, Philipe, 2002, Open World: the Truth About Globalisation, Abacus, London.
Palan, Ronen (ed), 2000, Global Political Economy, Routledge, London.
Wilber, Charles K. and Kenneth P. Jameson, 1992, The Political Economy of Development and Underdevelopment, 5th ed. McGraw-Hill, New York
Artikel
Rizwanul Islam. Et.al, 1999, The Economic Crisis and Labour Market Challenges and Policies in Indonesia, a paper presented at the WB/ILO/JMOL/JIL Seminar on Economic Crisis, Employment and Labour Market in East and South-East Asia,
Tubagus Feridhanustyawan dan Arya Budhiastra Gaduh, 2000, “Indonesia’s Labor Market During the Crisis.” The Indonesian Quarterly, Vol. XXVIII, No. 3. Hlm. 313
Website
www.worldbank.org
www.ciaonet.org
www.depnakertran.or.id
03 July 2008
24 February 2007
PELANGGARAN HAM DALAM DOKTRIN SISHANKAMRATA
Keberadaan doktrin pertahanan Sishankamrata merupakan bagian dari Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1982, kemudian Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menyepakati untuk memasukkan doktrin ini dalam pasal 30 pada proses amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan demikian keberadaan doktrin pertahanan tersebut menjadi semakin tinggi dalam sistem sistem perundang-undangan di Indonesia.
Secara konstitusional jelaslah bahwa sistem pemerintahan yang akan dianut Indonesia adalah menghargai civilian supremacy dalam hubungan sipil-militer. Militer hanya memainkan peran profesional untuk menghadapi ancaman yang bersifat militer dan berasal dari luar. Keputusan mengenai penggunaan kekuatan militer berada di tangan kepemimpinan sipil. TNI bukan merupakan institusi politik, dan fungsi TNI pun dapat dibedakan secara tegas antara keadaan negara dalam perang atau damai, meskipun hal ini dapat pula menimbulkan persoalan apabila secara hitam putih diterapkan pada sebuah masyarakat yang menghadapi ancaman yang kompleks, baik eksternal maupun internal, sehingga pemaknaan objective civilian control adalah minimalisasi intervensi militer dalam politik dan sebaliknya juga minimalisasi intervensi politik ke dalam tubuh militer.
Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), menempatkan keberadaan masyarakat dalam konteks kesiapan menghadapi ancaman fisik dari luar Indonesia. Orientasi war readiness ini terasa kental sekali dalam Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), sebagai sebuah corak yang jelas dari pemikiran kaum realis. Hal ini merupakan hal yang bisa dipahami jika melihat pengalaman perang yang dialami Indonesia. Pengalaman perang ini dialami Indonesia mendorong aktor militer untuk menimbulkan suatu wacana melibatkan masyarakat sipil dalam menghadapi peperangan memperkuat posisi dan peran angkatan bersenjata.
Wacana ini berusaha untuk membentuk pemahaman bahwa TNI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat. Sejarah pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menunjukkan proses pembentukan unsur kemiliteran yang berangkat dari milisi sipil.
Wacana ini berpengaruh besar terhadap pembentukan strategi pertahanan negara, yaitu aktor militer selalu melibatkan partisipasi rakyat dalam perumusan strategi pertahanan negara. Ini terlihat jelas dari Pasal 4 Ayat 1, UU No 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa "Hakikat pertahanan keamanan negara adalah perlawanan rakyat semesta..." Operasionalisasi dari perlawanan rakyat semesta tersebut dilaksanakan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) (Pasal 4 Ayat 1 UU No 20/1982).
Doktrin Sishankamrata ini menempatkan rakyat sebagai "sumber kekuatan bangsa yang menjadi kekuatan dasar upaya pertahanan negara" (Pasal 2 UU No 20/1982). Upaya pertahanan ini memiliki komponen perlawanan rakyat semesta yang diwujudkan dengan "mempersenjatai rakyat secara psikis dengan ideologi Pancasila dan secara fisik dengan keterampilan bela negara yang diselenggarakan oleh pemerintah" (Pasal 9 UU No 20/1982).
Walaupun UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi keberadaan doktrin Sishankamrata tetap dipertahankan sebagai inti dari perlawanan yang melibatkan seluruh warga negara Indonesia (Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 tahun 2002) . Dan sifat keterlibatan warga negara dalam pertahanan negara adalah hak dan wajib untuk turut serta (pasal 9 ayat 1 UU No.3 tahun 2002).
Potensi kekerasan militer yang dapat muncul dari Doktrin Sishankamrata adalah pertama, pelibatan rakyat secara luas dalam komponen pertahanan keamanan mencabut imunitas yang dijamin oleh Geneva Conventions. Hague Conventions (1907) dan Geneva Conventions (1926) didesain untuk memasukkan unsur-unsur kemanusiaan dalam perilaku berperang. Di mana dalam dua konvensi tersebut diatur tentang prilaku berperang dalam konteks symmetrical warfare dalam hal ini berkaitan dengan kesamaan cara berperang dan aturan berperang. Selain itu kedua konvensi ini mengatur tentang pemilahan antara combatant (orang yang dapat terlibat atau dilibatkan dalam peperangan) dan non-combatant (mereka yang tidak terlibat atau dilibatkan dalam peperangan). Dengan demikian kedua konvensi ini memberikan imunitas kepada kelompok masyarakat (perempuan, anak-anak dan manula) untuk tidak terlibat atau menjadi korban dalam peperangan. Pencabutan imunitas ini akan membunuh lebih banyak masyarakat sipil (terutama anak-anak, perempuan, dan para manula) yang sebenarnya memiliki hak untuk tidak terlibat dalam pertempuran dan peperangan.
Pelibatan rakyat secara luas juga tidak secara transparan menerangkan bagaimana program pelatihan akan dilakukan. Masalah yang akan muncul adalah jika ada agresi terhadap Indonesia, maka negara agresor dapat menganggap rakyat Indonesia sebagai kekuatan tempur yang harus diperangi. Mobilisasi masyarakat ini akan menempatkan kelompok-kelompok marjinal seperti halnya perempuan dan anak-anak yang merupakan bagian dari kelompok non-combatant pada posisi yang tidak menguntungkan. Hal ini antara lain berkaitan kemampuan mereka dalam berperang minim, sehingga seringkali mereka lebih mudah menjadi korban dalam peperangan.
Kedua, Doktrin Sishankamrata cenderung mengabaikan syarat proporsionalitas. Salah satu bentuk kerugian perang yang jarang mendapat perhatian serius adalah "kerusakan" segi psikis masyarakat yang tidak siap menerima trauma-trauma yang timbul akibat perang. Kerugian perang di sisi mental ini memiliki beberapa gradasi mulai dari demoralisasi, kelelahan mental, timbulnya perasaan dendam yang mendalam, ketakutan pada pemerintah, konflik keluarga hingga kerusakan mental yang serius. Syarat proporsionalitas menuntut aktor militer untuk mempertimbangkan kemungkinan munculnya kerugian di atas mengingat situasi perang total (total war) yang terdapat dalam Doktrin Sishankamrata memungkinkan negara lawan untuk melancarkan psy-war (Propagandan dan agitasi) untuk meruntuhkan home-front.
Ketiga, Doktrin Sishankamrata juga memungkinkan TNI untuk “membengkokkan” konsep demokratis supremasi sipil menjadi supremasi rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa TNI tidak perlu selalu tunduk kepada keputusan eksekutif jika itu dirasa tidak sejalan dengan apa yang dianggap TNI sebagai suara rakyat.
Keempat, Doktrin Sishankamrata akan menimbulkan konflik horisontal antarkomponen masyarakat jika pertikaian yang terjadi bukan antara negara namun antara negara melawan suatu gerakan separatis atau konflik antara kelompok dalam masyarakat. Hal lain yang perlu diangkat adalah untuk kasus konflik internal pemisahan sipil-militer cenderung sulit dilakukan sehingga aktor militer cenderung untuk melakukan teror-teror sistematis untuk menciptakan trauma-trauma psikologis yang akan mematikan keinginan pihak lawan untuk bertempur .
Terakhir, Doktrin Sishankamrata membutuhkan dukungan penuh dan luas dari berbagai komponen masyarakat. Dukungan ini bisa didapat dengan membentuk perasaan identitas kolektif yang bersifat instan yang menempatkan emosi-emosi kaum chauvinis seperti patriotisme dan rasa bangga terhadap sejarah perjuangan bangsa yang mengarah kepada pembentukan rasa kebangsaan yang kuat. Dengan kata lain, aktor militer akan berusaha untuk "merekayasa" nasionalitas bangsanya melalui proses indoktrinasi yang sistematis. Indoktrinasi ini cenderung membunuh nilai-nilai yang dirasa tidak kondusif dengan kebutuhan pembentukan ideologi negara. Eliminasi nilai-nilai ini pada akhirnya menghilangkan kemampuan masyarakat lokal untuk mengembangkan alternatif-alternatif resolusi konflik .
Berdasarkan paparan di atas, keberadaan Sishankamrata sebagai sistem pertahanan negara, telah menempatkan posisi keamanan negara lebih tinggi dari keamanan individu warga negara. Melihat keamanan dalam konteks negara ini telah mendistorsi pengertian keamanan itu sendiri yang berarti membebaskan orang-orang baik sebagai individu maupun kelompok dari ancaman sosial, ekonomi, fisik, politik maupun hambatan-hambatan lain yang menghalanginya dari segala tindakan yang diinginkannnya “…freeing people, as individus and groups from the social, physical, economic, political and other constrains that stop them from carrying out what they would frely choose to do” .
Selain itu pendekatan militerisme dalam keamanan nasional telah mengaburkan keberadaan ancaman lain yang lebih besar terhadap individu-individu, seperti halnya kemiskinan, hutang luar negeri, pertumbuhan populasi penduduk yang pesat, lingkungan hidup dan keterbatasan sumberdaya, yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan dan keamanan manusia, yang sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan oleh peperangan.
Selain itu Doktrin Sishankamrata, telah mengarahkan pembentukan sipil yang militersitik dan menempatkan standar-standar militer untuk keikutsertaan masyarakat dalam upaya bela negara . Dalam masyarakat dan negara yang patriarki, institusi militer selalu diidentifikasikan dengan maskulinitas, di mana kemudian institusi militer dioperasikan melalui atribut-atribut maskulin . Sehingga ketika Doktrin Sishankamrata bergerak dalam kerangka militer maka standar-standar maskulinlah yang akan diterapkan termasuk kepada para perempuan yang mungkin dilibatkan secara paksa.
Secara konstitusional jelaslah bahwa sistem pemerintahan yang akan dianut Indonesia adalah menghargai civilian supremacy dalam hubungan sipil-militer. Militer hanya memainkan peran profesional untuk menghadapi ancaman yang bersifat militer dan berasal dari luar. Keputusan mengenai penggunaan kekuatan militer berada di tangan kepemimpinan sipil. TNI bukan merupakan institusi politik, dan fungsi TNI pun dapat dibedakan secara tegas antara keadaan negara dalam perang atau damai, meskipun hal ini dapat pula menimbulkan persoalan apabila secara hitam putih diterapkan pada sebuah masyarakat yang menghadapi ancaman yang kompleks, baik eksternal maupun internal, sehingga pemaknaan objective civilian control adalah minimalisasi intervensi militer dalam politik dan sebaliknya juga minimalisasi intervensi politik ke dalam tubuh militer.
Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), menempatkan keberadaan masyarakat dalam konteks kesiapan menghadapi ancaman fisik dari luar Indonesia. Orientasi war readiness ini terasa kental sekali dalam Doktrin Sistem Pertahanan dan Kamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), sebagai sebuah corak yang jelas dari pemikiran kaum realis. Hal ini merupakan hal yang bisa dipahami jika melihat pengalaman perang yang dialami Indonesia. Pengalaman perang ini dialami Indonesia mendorong aktor militer untuk menimbulkan suatu wacana melibatkan masyarakat sipil dalam menghadapi peperangan memperkuat posisi dan peran angkatan bersenjata.
Wacana ini berusaha untuk membentuk pemahaman bahwa TNI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat. Sejarah pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menunjukkan proses pembentukan unsur kemiliteran yang berangkat dari milisi sipil.
Wacana ini berpengaruh besar terhadap pembentukan strategi pertahanan negara, yaitu aktor militer selalu melibatkan partisipasi rakyat dalam perumusan strategi pertahanan negara. Ini terlihat jelas dari Pasal 4 Ayat 1, UU No 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa "Hakikat pertahanan keamanan negara adalah perlawanan rakyat semesta..." Operasionalisasi dari perlawanan rakyat semesta tersebut dilaksanakan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) (Pasal 4 Ayat 1 UU No 20/1982).
Doktrin Sishankamrata ini menempatkan rakyat sebagai "sumber kekuatan bangsa yang menjadi kekuatan dasar upaya pertahanan negara" (Pasal 2 UU No 20/1982). Upaya pertahanan ini memiliki komponen perlawanan rakyat semesta yang diwujudkan dengan "mempersenjatai rakyat secara psikis dengan ideologi Pancasila dan secara fisik dengan keterampilan bela negara yang diselenggarakan oleh pemerintah" (Pasal 9 UU No 20/1982).
Walaupun UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi keberadaan doktrin Sishankamrata tetap dipertahankan sebagai inti dari perlawanan yang melibatkan seluruh warga negara Indonesia (Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 tahun 2002) . Dan sifat keterlibatan warga negara dalam pertahanan negara adalah hak dan wajib untuk turut serta (pasal 9 ayat 1 UU No.3 tahun 2002).
Potensi kekerasan militer yang dapat muncul dari Doktrin Sishankamrata adalah pertama, pelibatan rakyat secara luas dalam komponen pertahanan keamanan mencabut imunitas yang dijamin oleh Geneva Conventions. Hague Conventions (1907) dan Geneva Conventions (1926) didesain untuk memasukkan unsur-unsur kemanusiaan dalam perilaku berperang. Di mana dalam dua konvensi tersebut diatur tentang prilaku berperang dalam konteks symmetrical warfare dalam hal ini berkaitan dengan kesamaan cara berperang dan aturan berperang. Selain itu kedua konvensi ini mengatur tentang pemilahan antara combatant (orang yang dapat terlibat atau dilibatkan dalam peperangan) dan non-combatant (mereka yang tidak terlibat atau dilibatkan dalam peperangan). Dengan demikian kedua konvensi ini memberikan imunitas kepada kelompok masyarakat (perempuan, anak-anak dan manula) untuk tidak terlibat atau menjadi korban dalam peperangan. Pencabutan imunitas ini akan membunuh lebih banyak masyarakat sipil (terutama anak-anak, perempuan, dan para manula) yang sebenarnya memiliki hak untuk tidak terlibat dalam pertempuran dan peperangan.
Pelibatan rakyat secara luas juga tidak secara transparan menerangkan bagaimana program pelatihan akan dilakukan. Masalah yang akan muncul adalah jika ada agresi terhadap Indonesia, maka negara agresor dapat menganggap rakyat Indonesia sebagai kekuatan tempur yang harus diperangi. Mobilisasi masyarakat ini akan menempatkan kelompok-kelompok marjinal seperti halnya perempuan dan anak-anak yang merupakan bagian dari kelompok non-combatant pada posisi yang tidak menguntungkan. Hal ini antara lain berkaitan kemampuan mereka dalam berperang minim, sehingga seringkali mereka lebih mudah menjadi korban dalam peperangan.
Kedua, Doktrin Sishankamrata cenderung mengabaikan syarat proporsionalitas. Salah satu bentuk kerugian perang yang jarang mendapat perhatian serius adalah "kerusakan" segi psikis masyarakat yang tidak siap menerima trauma-trauma yang timbul akibat perang. Kerugian perang di sisi mental ini memiliki beberapa gradasi mulai dari demoralisasi, kelelahan mental, timbulnya perasaan dendam yang mendalam, ketakutan pada pemerintah, konflik keluarga hingga kerusakan mental yang serius. Syarat proporsionalitas menuntut aktor militer untuk mempertimbangkan kemungkinan munculnya kerugian di atas mengingat situasi perang total (total war) yang terdapat dalam Doktrin Sishankamrata memungkinkan negara lawan untuk melancarkan psy-war (Propagandan dan agitasi) untuk meruntuhkan home-front.
Ketiga, Doktrin Sishankamrata juga memungkinkan TNI untuk “membengkokkan” konsep demokratis supremasi sipil menjadi supremasi rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa TNI tidak perlu selalu tunduk kepada keputusan eksekutif jika itu dirasa tidak sejalan dengan apa yang dianggap TNI sebagai suara rakyat.
Keempat, Doktrin Sishankamrata akan menimbulkan konflik horisontal antarkomponen masyarakat jika pertikaian yang terjadi bukan antara negara namun antara negara melawan suatu gerakan separatis atau konflik antara kelompok dalam masyarakat. Hal lain yang perlu diangkat adalah untuk kasus konflik internal pemisahan sipil-militer cenderung sulit dilakukan sehingga aktor militer cenderung untuk melakukan teror-teror sistematis untuk menciptakan trauma-trauma psikologis yang akan mematikan keinginan pihak lawan untuk bertempur .
Terakhir, Doktrin Sishankamrata membutuhkan dukungan penuh dan luas dari berbagai komponen masyarakat. Dukungan ini bisa didapat dengan membentuk perasaan identitas kolektif yang bersifat instan yang menempatkan emosi-emosi kaum chauvinis seperti patriotisme dan rasa bangga terhadap sejarah perjuangan bangsa yang mengarah kepada pembentukan rasa kebangsaan yang kuat. Dengan kata lain, aktor militer akan berusaha untuk "merekayasa" nasionalitas bangsanya melalui proses indoktrinasi yang sistematis. Indoktrinasi ini cenderung membunuh nilai-nilai yang dirasa tidak kondusif dengan kebutuhan pembentukan ideologi negara. Eliminasi nilai-nilai ini pada akhirnya menghilangkan kemampuan masyarakat lokal untuk mengembangkan alternatif-alternatif resolusi konflik .
Berdasarkan paparan di atas, keberadaan Sishankamrata sebagai sistem pertahanan negara, telah menempatkan posisi keamanan negara lebih tinggi dari keamanan individu warga negara. Melihat keamanan dalam konteks negara ini telah mendistorsi pengertian keamanan itu sendiri yang berarti membebaskan orang-orang baik sebagai individu maupun kelompok dari ancaman sosial, ekonomi, fisik, politik maupun hambatan-hambatan lain yang menghalanginya dari segala tindakan yang diinginkannnya “…freeing people, as individus and groups from the social, physical, economic, political and other constrains that stop them from carrying out what they would frely choose to do” .
Selain itu pendekatan militerisme dalam keamanan nasional telah mengaburkan keberadaan ancaman lain yang lebih besar terhadap individu-individu, seperti halnya kemiskinan, hutang luar negeri, pertumbuhan populasi penduduk yang pesat, lingkungan hidup dan keterbatasan sumberdaya, yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan dan keamanan manusia, yang sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan oleh peperangan.
Selain itu Doktrin Sishankamrata, telah mengarahkan pembentukan sipil yang militersitik dan menempatkan standar-standar militer untuk keikutsertaan masyarakat dalam upaya bela negara . Dalam masyarakat dan negara yang patriarki, institusi militer selalu diidentifikasikan dengan maskulinitas, di mana kemudian institusi militer dioperasikan melalui atribut-atribut maskulin . Sehingga ketika Doktrin Sishankamrata bergerak dalam kerangka militer maka standar-standar maskulinlah yang akan diterapkan termasuk kepada para perempuan yang mungkin dilibatkan secara paksa.
Subscribe to:
Posts (Atom)